Judul: Anak Bukan Kertas Kosong
Penulis: Bukik Setiawan
Penerbit: Pandamedia
Tahun terbit : 2015
Tebal: 249
Setiap anak itu istimewa,
barangkali itu lah pesan singkat yang saya tangkap dari buku Anak Bukan Kertas
Kosong. Pak Bukik, penulis buku ini akan mengingatkan kita kembali kepada visi
dan misi yang pernah disampaikan oleh Bapak Pendidikan Negeri Indonesia
tercinta, Ki Hadjar Dewantara.
Jauh sebelum teori kecerdasan
majemuk Howard Gardner diamini oleh banyak orang, Ki Hadjar Dewantara sudah
menelurkan dasar-dasar pendidikan yang mengarah kepada keragaman kodrat anak
dan interaksi mereka dengan lingkungannya.
Ada tiga pemikiran KDH yang
kemudian menjadi dasar penulis untuk membuat buku Anak Bukan Kertas Kosong.
Pertama, bahwa setiap anak itu istimewa. “Hidup dan tumbuhnya anak-anak itu
terletak di luar kecakapan dan kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu
sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan
tumbuh menurut kodratnya sendiri.”
Anak, sejak lahir telah dibekali
kecerdasan tertentu. Kecerdasan satu anak dengan anak lainnya akan berbeda.
Mereka hanya butuh bertemu orang yang dapat menumbuhkembangkan kecerdasan
tersebut agar optimal. Siapakah orang-orang itu? Mereka lah yang disebut KDH
sebagai pendidik, yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun, keluarga,
dalam hal ini orang tua memegang peranan yang sangat penting sebagai pendidik
utama putra-putri mereka. Seperti diungkapkan oleh KDH dalam tulisannya berikut
ini.
“Pokoknya pendidikan harus
terletak di dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat
berhamba pada sang anak dengan semurni-murninya dan se-ikhlas-ikhlasnya, sebab
cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas.”
Pendidikan tidak bisa
dialihtugaskan kepada sekolah, lembaga bakat, atau sesiapapun. Pendidikan
putra-putri kita adalah tanggung jawab kita sendiri terhadap mereka. Keluarga
adalah benteng yang dapat melindungi anak-anak kita dari pengaruh luar yang
buruk. Setidaknya, kita berharap agar pengaruh buruk dari luar yang masuk dapat
diminimalisir.
Pemikiran kedua dari KDH adalah,
belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak. Belajar adalah
proses membentuk pengetahuan, mengonstruksikan pemahaman.
Sistim pendidikan konvensional,
tidak hanya di Indonesia, memang belum bisa menampung semua keistimewaan anak.
Kurikukulum tunggal membuat kecerdasan anak diseragamkan sedemikian rupa agar
sesuai dengan parameter kecerdasan yang ditentukan oleh pusat. Akibatnya, tanpa
disadari kita telah mematikan bibit-bibit potensi kecerdasan lain yang dimiliki
oleh anak-anak itu.
“Ketika keberagaman potensi anak
hanya dilihat dari kecerdasan tunggal, banyak anak yang akan mengalami
kesulitan belajar.” (halaman 67).
Di sinilah tugas pendidik
diperlukan, bagaimana ia bisa menumbuhkan potensi yang dimiliki oleh seorang
anak alih-alih memasukkan pengetahuan sebanyak-banyaknya di benak mereka.
Ketiga, pentingnya peranan
keluarga dalam pendidikan anak.
Kehidupan modern saat ini telah
banyak mengubah cara pandang orang bersikap dan berperilaku. Keluarga, dalam
hal ini orang tua, melupakan peran mereka sebagai pendidik utama untuk
putra-putri mereka. Pendidikan seolah cukup diserahkan kepada sekolah. Padahal
bukan itu, sejatinya “keluarga adalah pusat dan keadaan terbaik bagi pendidikan
anak.”
Tugas kita, orang tua, adalah
mendidik mereka dengan baik, mengarahkan potensi yang mereka miliki untuk bisa
bertumbuhkembang optimal sehingga memberikan manfaat bagi diri sendiri, orang
lain dan sekelilingnya.
Dengan merujuk kepada tiga
pemikiran KDH di atas, Pak Bukik mengajak kita semua untuk bersama kembali
meluruskan tujuan pendidikan ke arah yang lebih baik untuk putra-putri kita.
Menggali potensi yang mereka miliki dengan memberikan ruang dan kebebasan bagi
putra-putri kita untuk berkreasi. Terdapat juga panduan bagi para orang tua
untuk berperan di dalam mengembangkan bakat dan kecerdasan anak. Buku yang
patut dibaca utamanya oleh orang tua dan pendidik di sekolah.
Saya ingin mengutip kalimat bagus
dari Abuya Assayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawy Almaliki
“Orang tua laksana busur, dan
anak-anaknya bagaikan anak panah. Busur yang baik adalah yang mampu melesatkan
anak panah jauh melewati zamannya”.
Sebagai penutup review buku Anak
Bukan Kertas Kosong, berikut ini adalah syair Khalil Gibran yang bercerita
tentang anak. I really like this poem 🙂
Anakku : Kahlil Gibran
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang
Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi
bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan
pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam
pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah bagi
raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni
rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai
mereka,
namun jangan membuat mereka
menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah
berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran
keabadian,
Dia merentangkanmu dengan
kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat
jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan
tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak
panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula
busur yang mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar