Judul:
Habis Galau Terbitlah Move On
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Penerbit Bentang
Tebal: 326
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Penerbit Bentang
Tebal: 326
tahun terbit : 2014
Buku ini
berisi pemikiran dan perenungan Pak Guru J. Sumardianta mengenai hal-hal yang
kerap ia temui dalam interaksi sosialnya di masyarakat. Wawasan luas penulis
dapat dikenali dari beranekaragam kisah yang terkumpul dalam buku Habis Galau
Terbitlah Move On.
Buku
pertama Beliau, Guru Gokil Murid Unyu, telah menarik perhatian saya. Buku itu
lama tuntas sudah saya baca. Saya terkagum-kagum dengan pilihan buku bacaan
Beliau. Sesudahnya saya malah memburu beberapa buku yang sering Pak Guru ini
kutip di tulisan-tulisannya :). Salah satunya adalah buku perjalanan dari
Agustinus Wibowo.
Oke, back
to the topik. Membuat review buku Pak Guru ini tidak mudah. Ada banyak tulisan
yang ingin dikutip saking bagusnya.. hehe.
Tetapi,
saya akan mengambil satu bab terakhir tulisan mengenai persepakbolaan.
“Manusia,
memang gemar membangun sarang berlindung dalam kecongkakan yang dipicu ego.
Mereka mengira ego itu kekuatan. Ego, pada kenyataannya, hanyalah kelemahan
buat menyelubungi perasaan rendah diri. Mereka merasa dibutuhkan, dihormati,
dicintai, dan diharapkan.” (halaman 310)
Menurut
Pak Guru (halaman 311), pemain yang memiliki ego tinggi menciptakan kesenjangan
dalam hubungan antarpemain. Ego tinggi membuat seorang pesepakbola mudah
melukai orang lain. Orang yang suka melukai pun akan lebih mudah terluka.
Menampilkan ego, apalagi secara demonstratif, akan memancing dan mengusik ego
orang lain. Ego mengobarkan semangat persaingan dan saling menjatuhkan. Ego
melahirkan pesepak bola sombong terang-terangan maupun tersembunyi. Ego membuat
orang berfokus secara defensif pada kebutuhan diri sendiri. Begitu seorang
pesepak bola berfokus kepada diri sendiri maka kepentingan kolektif
terbengkalai. Padahal inti dari kesuksesan adalah kemampuan untuk berfokus
kepada khalayak yang menjadi pemangku kepentingan.
“Your
enemies is your ownself in a different uniform. Musuh Anda adalah kedirian Anda
sendiri dalam seragam yang berbeda.”
Pemain
sepak bola adalah watak kita di dunia nyata. Dalam pergaulan sosial, individu
yang hanya fokus kepada kebutuhannya sendiri lambat laun akan diliputi perasaan
sengsara, dan tanpa daya. Karena, sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Ia
tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi
dengan sesamanya.
Sepak
bola telah mengajarkan bahwa setiap pemain harus mengesampingkan rasa ego untuk
mencapai tujuan bersama. Pun demikian dalam hidup, di dalam hubungan sosial
antarmanusia, kita tak lepas dari konsekuesi sosial, dimana setiap individu
harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan bersama.
Permainan
sepak bola adalah juga permainan yang dimainkan oleh banyak orang yang berada
dalam sebuah tim. Selain ada pemain juga ada manajer. Ada juga peraturan yang
harus dipatuhi oleh semua pemain di lapangan. Tidak hanya peraturan lapangan
namun juga menyangkut rasisme. Pengatur regulasi sepak bola dunia pasti
menindak tegas segala bentuk perundungan rasisme. Pelanggaran sekecil apapun
akan dikenai sanksi. Ketika tim sepak bola saling bertanding dengan ketat kita
melihat kerasnya perjuangan hidup. Permainan ini juga memberikan kepuasan dan
rasa senang kepada semua orang karena betapapun kerasnya perjuangan kita
mengetahui bahwa perilaku dan regulasi menyatu.
Bagaimana
di dunia nyata? Berbeda dengan dunia sepak bola, aturan di dunia nyata bisa
dibelokkan. Jabatan dan kedudukan bisa dibeli. Pelanggar aturan diringankan
hukumannya selama bisa membayar mahal, dan lain sebagainya.
Barangkali
tak mengherankan jika sepak bola dicintai banyak orang. Keberadaan sepak bola
bagaikan oase di tengah kesumpekan hidup dunia nyata. Mungkin, dunia kecil
sepak bola adalah representasi keinginan diam-diam diri kita sebagai individu
yang merindukan keselarasan.